TUGAS
MANDIRI
Tugas Ini Ditulis Untuk memenuhi
Syarat Mengikuti Mata Kuliah Ilmu Kalam II
Dosen
Pengampu : Drs.H.Anshor Maulana
Di Susun Oleh :
Nama : Fatmawati
NPM : 12250036
Prodi : PAI
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PROGRAM
STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2014
KATA PENGANTAR
Allhamdulillah
penulis bersukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan bimbingan dan
petunjuk-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun
sudah cukup banyak ditulis makalah tentang Aliran Syi’ah dengan berbagai fariasinya, namun seiring dengan
perkembangan dunia pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada
dasarnya kebutuhan akan literatur pembelajaran tentunya juga terus bertambah
dengan makalah ini.
Makalah
Aliran Syi’ah menjelaskan pemikiran
tentang pengertian, sejarah, tokoh-tokoh, serta sekte ajaran Syi’ah. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat baru bagi para pembaca. Khususnya yang berubungan dengan Teologi Islam.
Akhirnya,
penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan
semangat kepada penulis terutama kepada bapak Drs.H.Anshor Maulana.
Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah kepada kita
semua. Aamiin
Metro, Juni 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL ......................................................................... i
KATA
PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR
ISI ....................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1
Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3
Tujuan .............................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN ....................................................................... 2
2.1
Pengertian Dan Asal Usul Kemunculan
Syi’ah ......................... 2
2.2
Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua
Belas/Syi’ah Imamiyah) ............ 5
1.
Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah
Itsna Asyariyah ........ 5
2.
Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna Asyariyah .................................... 5
2.3
Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) ............................................................. 7
1.
Asal-usul Penyebutan Syi’ah Sab’iyah ......................................... 7
2.
Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah
Sab’iyah .................. 7
3.
Ajaran Syi’ah Sab’iyah Lainnya ............................................ 10
2.4 Syi’ah Zaidiyah ............................................................................. 11
1.
Asal Usul Penamaan Zaidiyah .............................................. 11
2.
Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah ........................... 11
3.
Doktrin-doktirn Syi’ah Zaidiyah Lainnya ........................... 12
2.5 Syi’ah Ghulat ................................................................................. 14
1.
Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat ........................................ 14
2.
Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat .............................................. 14
BAB
III PENUTUP ....................................................................... 16
KESIMPULAN............................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan
umat manusia selalu mangalami perubahan dalam kehidupan. Sejalan dengan itu peradaban umat islam berdasarkan
kronologi nya mengalami berbagai masalah, rintangan, serta perubahan prilaku
secara drastis. Umat
islam mengalami perpecahan setelah wafat
nya baginda Rasulullah
SAW, dikarenakan beberapa Khalifah di bawah rasul kurang etis dalam melakukan proses
perpolitikan di antara sesamanya, diantara
nya adalah pembaiatan Ali bin
Abi Thalib, kemudian permasalahan tahkim yang di
lakukan nya terhadap Muawiyah bin Abu Sofian
sehinngga menimbulkan dua kubu atau pengikut setia di antara kedua para khalifah tersebut. Para
pengikut Ali bin Abi Thalib
dapat di katakann sebagi Syi’ah, maka
disinilah akan sededikit kami interpretasikan tentang pengikut Ali Bin Abi Thalib tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian Syi’ah ?
b. Bagaimana sejarah terbentuknya Aliran Syi’ah ?
c. Bagaimana ajaran Syi’ah ?
1.3 Tujuan
b. Untuk mengetahui sejarah timbulnya aliran syi’ah.
c. Untuk mengetahui ajaran Syi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Asal Usul Kemunculan Syi’ah
Syi’ah dilihat dari
bahasa berarti pengikut, pendukung,
partai,atau kelompok,sedangkan
secara terminologis adalah sebagian kaum
muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada
keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin
penting dalam doktrin Syi’ah adalah
pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para
sahabat yang bukan ahl al bait atau
para pengkutnya.
Menurut Thabathbai,
istilah Syi’ah untuk pertama kalinya
ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah
Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada
masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya
adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan
terminologis di atas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan
kelompok islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai
mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, Pengertian di
atas merupakan titik tolak penting bagi madzhab Syi’ah dalam mengembangkan dan
membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.
Mengenai kemunculan
Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli.
Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin
Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Adapun menurut Watt, Syiah baru benar-benar muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan Perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang
di tawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah
dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri
berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah penggnti (Khilafah) Nabi SAW. Merka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi.
Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat
yang diberikan oleh Nabi SAW. Pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika
Muhammad SAW. Diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan
menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali
merupakan orang yang menunukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
besar.
Bukti utama tentang
sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir
dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai
penggantinya dihadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada
peristiwa itu. Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (Walyat-i ‘ammali), tetapi juga
menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.
Berlawanan dengan
harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan,
sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan
upacara pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya
kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi
hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi
mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangant tergesa-gesa memilih
pemimpin kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan
masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para
sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak
memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu
keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith
accompli).
Berdasarkan realitas
itulah, muncul sikap dikalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan
dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka
tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah
Ali. Merkena berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus
merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang
kemudian disebut sebagai Syi’ah.
Namun, lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah
terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri,
sehingga mesti diwujudkan.
Perbedaan pendapat di
kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para
ahli berpegang teguh pada fakta sejarah ‘perpecahan’ dalam islam yang memang
mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang
paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah
berdasarkan Hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika
Nabi SAW. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu
terbentuklah syi’ah. Bagi mereka,
pada masa kepemimpinan Al-Kulafa
Ar-Rasyidun sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak dibawah
permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada
masyarakat. Tampaknya syi’ah sebagai
salah satu faksi politik Islam yang begerak secara terang-terangan, memang baru
muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul segera setelah wafatnya Nabi.
Syi’ah mendapatkan
pengikut yang besar terutama pada masa dinasti
Amawiyyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar
dan kejam dinasti ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan
itu adalah yang dilakukan pengasa Bani Umayah. Yazid bin Mu’awiyah , umpamanya,
pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal
kepala Husein bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala
Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu
Nabi SAW. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini
menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau
paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangannya,
selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl
al-bait di hadapan dinasti Ammawiyah dan
Abbasiyah. Syi’ah juga mengembangkan
doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima
rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan
kepada keesaan Allah); nubuwwah (kepercayaan
kepada Nabi); ma’ad (kepercayaan akan
adanya hidup diakhirat); imamah (kepercayaan
terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl
al bait); dan adl (keadilan
Ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam
Indonesian ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah terletak
pada doktrin imamah. Meskipun
mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah
tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok
ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu
oleh masalah doktrin imamah. Di
antara sekte-sekte Syi'ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah,dan
Ghullat.
2.2 Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiyah)
1. Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah
persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi
khalifah bkan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga
karena ia telah di tunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan
khalifah telah ada sejak Nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Syi’ah Itsna Asyariyah sepakat bahwa Ali
adalah penerima wasiat Nabi Muhammad seperti yang di tunjukan nash. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah Ali
bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali, kemudian
Husein bin Ali seagaimana yang disepakati. Setelah Husein adalah Ali Zaenal
Abidin, kmudian secara berturut-turut ; Muhammad Al-Baqir, Abdullah Ja’far
Ash-Shadiq, Mua AL-Kahzin, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Hasan
Al-Askari, dan terakhir adalah Muhammad AL-Mahdi sebagai imam kedua belas.
Demkianlah, karena berbaiat dibawah imamah
dua belas imam mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah Itsna Asyariyah (Itsna Asyariyah).
Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan
sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu
kira-kira pada tahun 260 H/878 M. Pengikut sekte ini menganggap bahwa imam
kedua belas Muhammad Al-Mahdi, dinyatakan Ghaibah
(Occultation). Muhammad Al-Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah
ayahnya di Samarra dan tidak kembali. Itulah sebabnya, kembalinya Imam Al-Mahdi
ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte Syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas
kehadirannya adalah sebagai ratu adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh
karena inilah, Muhammad Al-Mahdi di juluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu).
2. Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna Asyariyah
Didalam Sekte Syi’ah Itsna Asyariyah
dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau pondasi pragmatisme
agama. Konsep usuluddin mempunyai 5 akar.
a.
Tauhid
(The Devine Unity)
Tuhan
adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia
bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah Qadim. Maksudnya, Tuhan
bereksistensi dengan sendirinya sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan
waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Maha Tahu, Maha Mendengar, selalu hidup,
mengerti semua bahasa, selalu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
b.
Keadilan
(The Devine Justice)
Tuhan
menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadila. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kealiman
terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat ini
jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan. Tuhan memberikan akal kepada manusia
untuk mengetahui perkara yang benar atau salah melalui persaan. Manusia dapat
menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indera lainnya untuk melakukan
perbuatan, baik perbuatan baik maupun buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan
potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung
jawab atas perbuatannya.
c.
Nubuwwah
(Apostleship)
Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting , masih membutuhkan
petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan
petunjuk hakiki utusan dengan Tuhan yang secara transenden diutus untuk
memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam
semesta. Dalam keyakinan Syi’ah Asyariyah, Tuhan telah mengutus 124.000 rasul
untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
Syi’ah Itsna Asyariyah percaya mutlak dengan ajaran tauhid dengan
kerasulan sejak Adam hingga Muhammad dan tidak ada nabi atau rasul setelah
Muhammad. Mereka percaya adanya kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an dan
jauh dari tahrif, perubahan
d. Ma’ad (The
Last Day)
Ma’ad adalah
hari akhir (kiamat) untuk menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat. Setiap muslim
harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih
dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
e. Imamah (The
Devine Guidance)
Imamah
adalah imstitusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia
yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad
sebagai nabi dan rasul terakhir.
Selanjutna, dalam sisi yang bersifat mahdah,
Sy’ah Itsna Asyariyah berpijak kepada delapan cabang agama yang disebut dengan fueu ad-din. Delapan cabang tersebut
terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar
seperlimadari penghasilan, jihad, al-amr
bi al-ma’ruf, dan an-nahyu an-al-munkar.
2.3 Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
1. Asal-usul Penyebutan Syi’ah Sab’iyah
Istilah Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) dianalogikan dengan Syi’ah Itsna Asyariyah. Istilah itu
memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah
Sab’iyah hanya mengikuti tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal
Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far AshiShadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena
dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah Sab’iyah Disebut juga Syi’ah Ismailiyah.
Berbeda dengan Syi’ah
Sab’iyah, Syi’ah Itsna Asyariyah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai imam
ketujuh karena disamping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat
(143 H/760 M) mendahului ayahnya, Ja’far (w. 765). Sebagai penggantinya adalah
Musa Al-Khadzim, adik Ismail. Syi’ah Sab’iyah menolak pembatalan tersebut,
berdasarkan system pengangkatan imam dalam Syi’ah
dan menganggap Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalannya diganti
oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail.
2. Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sab’iyah
Para pengikut Syi’ah
Sab’iyah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar seperti dijelaskan
Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam.
Tujuh pilar tersebut adalah iman, taharah, salat, zakat, saum, haji, dan
jihad.
Berkaitan dengan pilar
(rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai
berikut.
Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Tentang imam zaman, Syi’ah Sab’iyah mendasarkan pada sebuah Hadits Nabi SAW yang terjemahan bahasa inggrisnya sebagai berikut ini, “He who dies without knowing of time when still alive dies in ignorance” (Ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih belum diketahui sampai kini). Hadits seperti ini juga terdapat dalam sekteSunni dan Syi’ah Itsna Asyariyah, tetapi dalam Hadits kedua sekte ini tidak dicantumkan imam zaman.
Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iyah, keimanan hanya dapat diterima bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim dapat menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-materil sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melaluikehidupan itu, kecuali dengan bimbingan, yang meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan dan bimbingan pemerintahan yang berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan Rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui wasiat.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah adalah sebagai berikut :
Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Tentang imam zaman, Syi’ah Sab’iyah mendasarkan pada sebuah Hadits Nabi SAW yang terjemahan bahasa inggrisnya sebagai berikut ini, “He who dies without knowing of time when still alive dies in ignorance” (Ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih belum diketahui sampai kini). Hadits seperti ini juga terdapat dalam sekteSunni dan Syi’ah Itsna Asyariyah, tetapi dalam Hadits kedua sekte ini tidak dicantumkan imam zaman.
Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iyah, keimanan hanya dapat diterima bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim dapat menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-materil sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melaluikehidupan itu, kecuali dengan bimbingan, yang meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan dan bimbingan pemerintahan yang berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan Rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui wasiat.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah adalah sebagai berikut :
a.
Imam harus
berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian
dikenal dengan ahlul bait.
b.
Berbeda dengan
aliran Kaisaniyah, pengikut Mukhtar
Ats-Tsaqali, mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan Ali melalui pernikahannya
dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama
Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c.
Imam harus
berdasarkan penunjukan atau nas. Syi’ah
Sab’iyah meyakini bahwa setelah Nabi wafat, Ali menjadi imam berdasarkan
penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum beliau wafat. Suksesi keimanan
menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan nas oleh imam terdahulu.
d.
Keimanan jatuh
pada anak tertua. Syi’ah Sab’iyah menggariskan
bahwa seseorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity). Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk
anaknya yang paling tua.
e.
Imam harus maksum Iimmunity from sin an error). Sebagaimana
sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam harus
terjaga dari salah satu dosa. Bahkan lebih dari itu, Syi’ah Sab’iyah
berpendapat bahwa sungguhpun imam berbuat salah, perbuatannya itu tidak salah. Keharusan
maksum bagi imam dapat ditelusuri
dengan pendekatan sejarah. Pada sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang
menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan Tuhan, atau seorang raja adalah
penguasa yang mendapat tetesan Ilahi (Devine
Grace) dan dalam bahasa Persianya adalah Farr-I Izadi. Oleh sebab itu, seorang raja haruslah maksum.
f.
Imam harus
dijabat oleh seorang yang paling baik (best
of man). Berbeda dengan Zaidah, Syi’ah
Sab’iyah dan Syi’ah Dua Belas tidak membolehkan adanya imam mafdul. Dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah, perbuatan dan ucapan
imam tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam
hamper sama dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi
mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.
Di samping syarat-syarat diatas, Syi’ah Sab’iyah berpendapat bahwa
seorang imam harus mempunyai pengetahuan (ilmi) dan juga harus mempunyai
pengetahuan walayah. Pengetahuan
disini adalah ilmu lahir (eksotrik) maupun
ilmu batin (esoterik). Dengan ilmu
tersebut, seorang imam mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui orang
biasa. Apa yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam
pandangan imam.
Kedua, seorang
imam harus mempunyai sifat walayah, yaitu kemampuan eksoterik Untuk menuntun manusia kedalam rahasia-rahasia Tuhan.
Doktrin tentang imam menempati posisi sentral dalam Syi’ah Sab’iyah.
Kepatuhan dan pengabdian kepada imam dipandang sebagai prinsip dalam menerima
ajaran suci imam. Sab’iyah, seperti
sekte lainnya, memiliki cita-cita tentang pemahaman dan penerapan islam dalam
keseluruhan totalitasnya agar umat diperintahkan oleh kehendak Tuhan, bukan
oleh kehendak manusia yang tidak menentu. Melalui keturunan Ali yang mendapat
petunjuk Tuhanlah, cita-cita tersebut dapat tercapai.
Tampaknya, keimanan Sab’iyah terpengaruh oleh filsafat Neo Platonisme, terutama
teori emanasinya. Hakikat emanasi itu sendiri adalah korespondensi Tuhan dengan
manusia. Menurut Sab’iyah, imam mendapat tetesan Ilahi (Devine Grace). Ucapan seorang imam sepenuhnya merupakan nas syara
dan wajib dilaksanakan.
Sepeninggal Ismail, imam-imam selanjutnya merupakan imam tersembunya
sampai berdiri Daulah Fatimah (tahun
909 M). Tersembunyinya imam tidak mengahalanginya untuk menjadi imam dan ia tetap
harus dipatuhi. Sab’iyah berbeda dengan Syi’ah
Dua Belas yang meyakini adanya imam Al-Mahdi
Al-Muntadzar berkeyakinandibumi akan selalu ada imam. Hanya saja imam itu
adakalanya tersembunyi (batin) dan
ada kalanya menampakkan diri (zahir). Tatkala
imam bersembunyi, para da’inya harus zahir
(tampak). Sebaliknya apabila imamnya zahir, dainya tersembunyi. Sab’iyah meyakini bilangan tujuh dan
mereka meyakini bahwa setiap nabi mempunyai tujuh pelaksana.
3. Ajaran Syi’ah Sab’iyah Lainnya
Ajaran Sab’iyah lainnya pada
dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte Syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak
pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir, dan
penolakannya terhadap Al-Mahdi
Al-Muntadzar. Bila dibandingkan dengan sekte Syi’ah lainnya, Sab’iyah
sangat ekstrim dalam menjelaska kemaksuman imam. Sebagaimana telah dijelaskan,
kelompok ini berpendapat bahwa imam, walaupun imam melakukan kesalahan dan
menyimpang dari syari’at, ia tidaklah
menyimpang karena memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki manusia biasa.
Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin Sab’iyah tentang pengetahuan imam akan
ilmu batin.
Ada satu sektedalam Sab’iyah
yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh karena itu,
imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti Fatimiyah, Al-hakim bin
Amrillah, berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat Tuhan sehingga ia memaksa
rakyat untuk menyembahnya.
Menurut Sab’iyah, Al-Qur’an
memiliki makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau
tersurat dari syari’at itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya
terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu,
mungkin saja terjadi perubahan dan peralihan dan bahkan penolakan terhadap
pelaksanaan syari’at tersebut karena mendasarkan pada yang batin tadi. Yang
dimaksud dengan orang-orang tertentu ialah para imam yang memiliki zahir dan
ilmu batin.
Dengan prinsip ta’wil, Sab’iyah menakwilkan, misalnya,
ayat Al-Qur’an tentangpuasa dengan menahan
diri dari menyiarkan rahasia-rahasia imam, dan ayat Al-Qur’an tentang haji
ditakwilkan dengan mengunjungi imam/ bahkan, di antara mereka ada yang
menggugurkan kewajiban ibadah. Mereka itu adalah orang-orang yang telah
mengenal imam dan telah mengetahui ta’wil
(melalui imam)
Mengenai sifat Allah,
sebagaimana halnya Mu’tazilah Sab’iyah meniadakan
sifat dari dzat Allah. Menurut mereka penetapan sifatmerupakan penyerupaan
dengan makhluk.
2.4 Syi’ah
Zaidiyah
1. Asal Usul Penamaan Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam
kelima, putra imam imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan
sekte Syi’ah lain yang mengakui
Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam kelima. Dari
nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah Merupakan sekte Syi’ah
yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang
paling dekat dengan sunni.
2. Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagaimana
telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum.
Berbeda dengan doktrin imamah yang
dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah
menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan
Nabi SAW. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan
sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya
bahwa Nabi SAW. telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas menjabat sebagai
imam setelah Nabi wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki
oleh orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim, wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan
membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya menurut
Zaidiyah, seorang imam paling tidak harus memiliki cirri-ciri sebagai berikut. Pertama, ia merupakan keturunan ahl al-bait, baik melalui garis Hasan
maupun Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan
dan nas kepemimpinan. Kedua, memiliki
kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang.
Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang
merupakan salah satu ciri sekte Syi’ah lainnya,
baik yang gaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka, pemimpin yang
menegakkan kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.
Ketiga, memiliki kecenderungan
intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang
keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan mengembangkan doktrin imamat al-mafdul. Artinya, seseorang
dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul
(bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang afdal.
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiyah sering mengaami krisis dalam keimanan. Hal ini
karena terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahl al-bait untuk menobatkan dirinya sebagai imam. Ini berbeda
msalnya dengan Syi’ah Itsna Asyariyah yang
hanya mengakui keturunan Husein sebagai imam. Dalam sejarahnya, krisis keimanan
dalam Syi’ah Zaidiyah ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat beberapa pemimpin yang memproklamirkan diri
sebagai imam. Kedua, tidak seorangpun
yang memproklamirkan diri atau pantas diangkat sebagi imam. Dalam menghadapi
krisis ini, Zaidiyah mengembangkan mekanisme pemecahannya, di antaranya dengan
membagi tugas imam kepada dua individu, dalam bidang politik dan dalam bidang
ilmu serta keagamaan.
Syi’ah Zaidiyah memang mencita-citakan
keimanan aktif, bukan keimanan pasif, seperti Mahdi yang gaib. Menurut mereka,
imam bukan saja memiliki kekuatan rohani yang diperlukan bagi seorang pemimpin
keagamaan, tetapi juga bersedia melakukan perlawanan demi cita-cita suci
sehingga dihormati oleh umatnya. Selain menolak berbagai dongeng tentang
kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian para
imam. Imam bagi mereka adalah pemimpin dan guru bagi kaum muslim, aktif di
tengah kehidupan, dan berjuang terang-terangan demi cita-citanya. Dengan
demikian imam dapat berfungsi sebagai pemimpim politik dan keagamaan yang
secara kongkret berjuang demi umat, daripada sebagai tokoh adikodrati yang suci
tanpa dosa.
3. Doktrin-doktirn Syi’ah Zaidiyah Lainnya
Bertolak dari doktrin
tentang al-imamah al-mafdul, Syi’ah
Zaidiyah berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab
adalah sah dari sudut pandang islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari
tangan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall wa al-‘aqd telah memilih seorang imam dari kalangan
kaum muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan
oleh Zaidiyah dan telah dibuat oleh
mereka, keimanan menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya. Selain itu,
mereka juga tidak mengafirkan seorangpun sahabat. Mengenai hal ini, Zaid
sebagaimana dikutip Abu Zahrah mengatakan :
“Sesungguhnya Ali bin Thalib adalah sahabat yang
paling utama. Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena
mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaitu
untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang
terjadi pada masa kenabian baru saja berlalu. Pedang Amir Al-Mukminin Ali belum
lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku tertentu
untuk menuntut balas dendam belumlah surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas
untuk cenderung ke situ. Jangan lagi ada leher terptus karena masalah itu.
Inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan
kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih
dahulu memeluk islam, serta yang dekat dengan Rasulullah”
Prinsip inilah, menurut
Abu Zahrah, yang menebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah. Salah
satu implikasinya adalah dukungan terhadap Zaid ketika Ia berperang melawan
pasukan Hisyam bin Abu Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah
yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan menuduh
mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.
Penganut Syi’ah
Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka
jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini,
Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh
mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah , mempunyai hubungan dengan Za’id. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar
kepada Wasil bin Atha. Baik Abu Zahrah maupun Moojan Momen mengatakan bahwa
dalam teologi Syi’ah Zaidiyah hampir sepenuhnya mengikuti Mu’tazilah. Selain
itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti Murji’ah, dan berpendirian puritan
dalam menyikapi tarekat. Organisasi tarekat memang dilarang dalam pemerintahan
Zaidiyah.
Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah (temporer). Tampaknya ini
merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar bin Khatab.
Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan
salah satujenis pernikahan yang di hapuskan pada masa Nabi SAW. Pada
perkembangannya, jenis pernikahan ini di hapuskan oleh Khalifah Umar bin
Khatab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh sekte Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh
karena itu hingga sekarang kecuali kalangan Zaidiyah, kaum Syi’ah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. Selanjutnya, kaum Zaidiyah
juga menolak doktrin taqiyah. Padahal
menurut Thabathaba’i, taqiyah merupakan
salah satu doktrin yang penting dalam Syi’ah.
Meskipun demikian,
dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap
cenderung menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah
pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka memberi selingan ungkapan hayya ‘ala khairul amal, takbir sebanyak
lima kali dalam sholat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-Khuffaini), menolak imam
sholat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan muslim.
2.5
Syi’ah
Ghulat
1. Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw,
artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga
melampaui batas. Syi’ah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki
sikap berlebih-lebihan atau ekstrim (exaggeration).
Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrim (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan
Ali pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Muhammad.
Gelar ekstrim (ghuliw) yang diberikan kepada kelompok
ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang
secara khusus di anggap Tuhan dan juga ada beberapa orang yang di anggap Rasul
setelah Nabi Muhammad. Selain itu, mereka mengembangkan doktrin-doktrin ekstrim
lainnya, seperti tanasukh, hulul, tasbih,
dan ibaha.
Mengenai jumlah sekte Syi’ah Ghulat, para mutakallimin berbeda pendapat. Syahrastani membagi sekte Ghulat
menjadi 11 sekte, Al-Ghurabi membaginya menjadi 15 sekte. Sekte-sekte yang
terkenal antara lain : Sabahiyah,
Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah,
Nu’miyah, Yunusiyah, dan Nasyisiyah
wa Ishaqiyah.
Nama-nama sekte tersebut
menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini pada
awalnya hanya satu, yakni faham yang dibawa oeh Abdullah bin Saba’ yang
mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan
ajaran, Syi’ah Ghulat terpecah
menjadi beberapa sekte. Meskipun demikian, seluruh sekte ini pada prinsipnya
menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengarui oleh
system agama Babilonia Kuno yang ada di Irak, seperti Zoroaster, Yahudi,
Manikam, Mazdakisme.
2. Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani, ada
empat doktrin yang membuat mereka ekstrim, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih.
Moojan Momen menambahkannya dengan hulul
dan Ghayba. Tanasukh adalah
keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham
ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh
disiksa dengan cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala
dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam
konsep imamiyahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah bin Muawiyah
bin Abdullah bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada
imam-imam secara turun temurun.
Bada’ adalah keyakinan
bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta
dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’,
dalam pandangan Syi’ah Ghulat, mempunyai
beberapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila
berkaitan dengan kehendak, artinya memperlihatkan
yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hokum yang diterapkan-Nya. Bila
berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan
hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya. Faham ini dipilih
oleh Al-Mukhtar ketika mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal yang akan
terjadi, baik melalui wahyuyang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari
imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu
benar-benar terjadi seperti yang diucapkannya, maka itu dijustifikasi sebagai
bukti kebenaran ucapannya. Namun, jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa
Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada hubungannya
dengan mahdiyah, Syi’ah Ghulat
mempercayai bahwa imam Mahdi Al-Muntazhar
akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan
mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh
Syi’ah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali, sedangkan sebagian
lainnya menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah, bahkan ada
yang mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya
menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam
mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan
berbeda pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap
individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba (occulation) artinya
menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi
itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh
Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad
bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ajaran
dalam Syi’ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan
mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar
dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam
bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini
menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya
doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam
penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali Bin Abi
Thalib sangat utama di antara para
Sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin.
Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi
Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu
sendiri.
Oleh karena
itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam
meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran
yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan
berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya
Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq
Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
Maqalatul Islamiyyin, 1/137
Bahan ajar ilmu kalam hal:31
Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
Bahan ajar ilmu kalam hal:25
Baca al-Ghadir, al-Muroja’ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
Ibid 27-28
Bahan ajar ilmu kalam hal:32-34
Bahan ajar ilmu kalam hal:24
Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
Sayyid Muhibudin al-khotib,mengenal pokok-pokok ajaran syi’ah
al-imamiyah,1984 surabaya PT.bina ilmu,hal 25
Bahan ajar ilmu kalam hal:21
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya
Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq
Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
http://putralibra21.blogspot.com/2015/02/makalah-ilmu-kalam-aliran-syiah.html
http://putralibra21.blogspot.com/2015/02/makalah-ilmu-kalam-aliran-syiah.html