Jumat, 13 Februari 2015

Makalah Ilmu Kalam Aliran Syi'ah



TUGAS MANDIRI
Tugas Ini Ditulis Untuk memenuhi Syarat Mengikuti Mata Kuliah Ilmu Kalam II
Dosen Pengampu : Drs.H.Anshor Maulana




Di Susun Oleh : 
Nama : Fatmawati 
NPM : 12250036 
Prodi : PAI 



FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2014



KATA PENGANTAR

Allhamdulillah penulis bersukur kepada Allah SWT, karena hanya dengan bimbingan dan petunjuk-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun sudah cukup banyak ditulis makalah tentang Aliran Syi’ah dengan berbagai fariasinya, namun seiring dengan perkembangan dunia pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada dasarnya kebutuhan akan literatur pembelajaran tentunya juga terus bertambah dengan makalah ini.
Makalah Aliran Syi’ah menjelaskan pemikiran tentang pengertian, sejarah, tokoh-tokoh, serta sekte ajaran Syi’ah. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat baru bagi para pembaca. Khususnya yang berubungan dengan Teologi Islam.
Akhirnya, penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis terutama kepada bapak Drs.H.Anshor Maulana. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Aamiin

Metro,    Juni 2014

Penulis



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1  Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3  Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 2
2.1    Pengertian Dan Asal Usul Kemunculan Syi’ah ......................... 2
2.2    Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiyah) ............ 5
        1.      Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah ........ 5
        2.      Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna Asyariyah .................................... 5
2.3    Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) ............................................................. 7
       1.      Asal-usul Penyebutan Syi’ah Sab’iyah ......................................... 7
       2.      Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sab’iyah .................. 7
       3.      Ajaran Syi’ah Sab’iyah Lainnya ............................................ 10
2.4   Syi’ah Zaidiyah ............................................................................. 11
       1.      Asal Usul Penamaan Zaidiyah .............................................. 11
       2.      Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah ........................... 11
       3.      Doktrin-doktirn Syi’ah Zaidiyah Lainnya ........................... 12
2.5   Syi’ah Ghulat ................................................................................. 14
       1.      Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat ........................................ 14
       2.      Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat .............................................. 14
BAB III PENUTUP ....................................................................... 16
       KESIMPULAN............................................................................ 16   
DAFTAR PUSTAKA 



BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Perkembangan umat manusia selalu mangalami perubahan dalam kehidupan. Sejalan dengan itu peradaban umat islam berdasarkan kronologi nya mengalami berbagai masalah, rintangan, serta perubahan prilaku secara drastis. Umat islam mengalami perpecahan setelah wafat nya baginda Rasulullah SAW, dikarenakan beberapa Khalifah di bawah rasul kurang etis dalam melakukan proses perpolitikan di antara sesamanya, diantara nya adalah pembaiatan Ali bin Abi Thalib, kemudian permasalahan tahkim yang di lakukan nya terhadap Muawiyah bin Abu Sofian sehinngga menimbulkan dua kubu atau pengikut setia di antara kedua para khalifah tersebut. Para pengikut Ali bin Abi Thalib dapat di katakann sebagi Syi’ah, maka disinilah akan sededikit kami interpretasikan tentang pengikut Ali Bin Abi Thalib tersebut.


1.2  Rumusan Masalah
a.      Apakah pengertian Syi’ah ?
b.      Bagaimana sejarah terbentuknya Aliran Syi’ah ?
c.      Bagaimana ajaran Syi’ah ?


1.3  Tujuan
a.      Untuk mengetahui pengertian Syi’ah.
b.      Untuk mengetahui sejarah timbulnya aliran syi’ah.
c.      Untuk mengetahui ajaran Syi’ah.


BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Dan Asal Usul Kemunculan Syi’ah

Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai,atau kelompok,sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al bait atau para pengkutnya.


Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.


Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, Pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi madzhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.


Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syiah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan Perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang di tawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.


Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah penggnti (Khilafah) Nabi SAW. Merka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW. Pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW. Diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.


Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu. Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (Walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.

Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan upacara pemakamannya, teman dan para pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangant tergesa-gesa memilih pemimpin kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith accompli).
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap dikalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Merkena berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Namun, lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah ‘perpecahan’ dalam islam yang memang mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah berdasarkan Hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Kulafa Ar-Rasyidun sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak dibawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya syi’ah sebagai salah satu faksi politik Islam yang begerak secara terang-terangan, memang baru muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul segera setelah wafatnya Nabi.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti  ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengasa Bani Umayah. Yazid bin Mu’awiyah , umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-bait di hadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah. Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah); nubuwwah (kepercayaan kepada Nabi); ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup diakhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl al bait); dan adl (keadilan Ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesian ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah terletak pada doktrin imamah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Di antara sekte-sekte Syi'ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah,dan Ghullat.


2.2  Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiyah)


1.      Asal-usul Penyebutan Imamiyah dan Syi’ah Itsna Asyariyah

Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi khalifah bkan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah di tunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada sejak Nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Syi’ah Itsna Asyariyah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad seperti yang di tunjukan nash. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali, kemudian Husein bin Ali seagaimana yang disepakati. Setelah Husein adalah Ali Zaenal Abidin, kmudian secara berturut-turut ; Muhammad Al-Baqir, Abdullah Ja’far Ash-Shadiq, Mua AL-Kahzin, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari, dan terakhir adalah Muhammad AL-Mahdi sebagai imam kedua belas. Demkianlah, karena berbaiat dibawah imamah dua belas imam mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah Itsna Asyariyah (Itsna Asyariyah).
Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. Pengikut sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas Muhammad Al-Mahdi, dinyatakan Ghaibah (Occultation). Muhammad Al-Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah ayahnya di Samarra dan tidak kembali. Itulah sebabnya, kembalinya Imam Al-Mahdi ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte Syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya adalah sebagai ratu adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena inilah, Muhammad Al-Mahdi di juluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang ditunggu).


2.      Doktrin-doktrin Syi’ah Itsna Asyariyah

Didalam Sekte Syi’ah Itsna Asyariyah dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau pondasi pragmatisme agama. Konsep usuluddin mempunyai 5 akar.

a.      Tauhid (The Devine Unity)

Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah Qadim. Maksudnya, Tuhan  bereksistensi dengan sendirinya sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan Maha Tahu, Maha Mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

b.      Keadilan (The Devine Justice)

Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadila. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kealiman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat ini jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui perkara yang benar atau salah melalui persaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indera lainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

c.       Nubuwwah (Apostleship)

Setiap makhluk sekalipun telah diberi insting , masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan dengan Tuhan yang secara transenden diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah Asyariyah, Tuhan telah mengutus 124.000 rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
Syi’ah Itsna Asyariyah percaya mutlak dengan ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad. Mereka percaya adanya kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an dan jauh dari tahrif, perubahan

d.      Ma’ad (The Last Day)

Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat. Setiap muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.

e.       Imamah (The Devine Guidance)

Imamah adalah imstitusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.
Selanjutna, dalam sisi yang bersifat mahdah, Sy’ah Itsna Asyariyah berpijak kepada delapan cabang agama yang disebut dengan fueu ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlimadari penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf, dan an-nahyu an-al-munkar.


2.3  Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)


1.      Asal-usul Penyebutan Syi’ah Sab’iyah

Istilah Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) dianalogikan dengan Syi’ah Itsna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah Sab’iyah hanya mengikuti tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far AshiShadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah Sab’iyah Disebut juga Syi’ah Ismailiyah.
Berbeda dengan Syi’ah Sab’iyah, Syi’ah Itsna Asyariyah membatalkan Ismail bin Ja’far sebagai imam ketujuh karena disamping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, Ja’far (w. 765). Sebagai penggantinya adalah Musa Al-Khadzim, adik Ismail. Syi’ah Sab’iyah menolak pembatalan tersebut, berdasarkan system pengangkatan imam dalam Syi’ah dan menganggap Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalannya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail.


2.      Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sab’iyah

Para pengikut Syi’ah Sab’iyah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah iman, taharah, salat, zakat, saum, haji, dan jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut.
Iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Tentang imam zaman, Syi’ah Sab’iyah mendasarkan pada sebuah Hadits Nabi SAW yang terjemahan bahasa inggrisnya sebagai berikut  ini, “He who dies without knowing of time when still alive dies in ignorance” (Ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih belum diketahui sampai kini). Hadits seperti ini juga terdapat dalam sekteSunni dan Syi’ah Itsna Asyariyah, tetapi dalam Hadits kedua sekte ini tidak dicantumkan imam zaman.
Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iyah, keimanan hanya dapat diterima bila sesuai dengan keyakinan mereka, yakni melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim dapat menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-materil sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melaluikehidupan itu, kecuali dengan bimbingan, yang meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan dan bimbingan pemerintahan yang berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya dan Rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui wasiat.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah adalah sebagai berikut :
a.       Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian dikenal dengan ahlul bait.
b.      Berbeda dengan aliran Kaisaniyah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqali, mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c.       Imam harus berdasarkan penunjukan atau nas. Syi’ah Sab’iyah meyakini bahwa setelah Nabi wafat, Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum beliau wafat. Suksesi keimanan menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan nas oleh imam terdahulu.
d.      Keimanan jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iyah menggariskan bahwa seseorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity). Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e.       Imam harus maksum Iimmunity from sin an error). Sebagaimana sekte Syi’ah lainnya, Syi’ah Sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari salah satu dosa. Bahkan lebih dari itu, Syi’ah Sab’iyah berpendapat bahwa sungguhpun imam berbuat salah, perbuatannya itu tidak salah. Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan pendekatan sejarah. Pada sejarah Iran pra-Islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan Tuhan, atau seorang raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi (Devine Grace) dan dalam bahasa Persianya adalah Farr-I Izadi. Oleh sebab itu, seorang raja haruslah maksum.
f.       Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik (best of man). Berbeda dengan Zaidah, Syi’ah Sab’iyah dan Syi’ah Dua Belas tidak membolehkan adanya imam mafdul. Dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam hamper sama dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.
Di samping syarat-syarat diatas, Syi’ah Sab’iyah berpendapat bahwa seorang imam harus mempunyai pengetahuan (ilmi) dan juga harus mempunyai pengetahuan walayah. Pengetahuan disini adalah ilmu lahir (eksotrik) maupun ilmu batin (esoterik). Dengan ilmu tersebut, seorang imam mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui orang biasa. Apa yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam pandangan imam.
Kedua, seorang imam harus mempunyai sifat walayah, yaitu kemampuan eksoterik Untuk menuntun manusia kedalam rahasia-rahasia Tuhan.
Doktrin tentang imam menempati posisi sentral dalam Syi’ah Sab’iyah. Kepatuhan dan pengabdian kepada imam dipandang sebagai prinsip dalam menerima ajaran suci imam. Sab’iyah, seperti sekte lainnya, memiliki cita-cita tentang pemahaman dan penerapan islam dalam keseluruhan totalitasnya agar umat diperintahkan oleh kehendak Tuhan, bukan oleh kehendak manusia yang tidak menentu. Melalui keturunan Ali yang mendapat petunjuk Tuhanlah, cita-cita tersebut dapat tercapai.
Tampaknya, keimanan Sab’iyah terpengaruh oleh filsafat Neo Platonisme, terutama teori emanasinya. Hakikat emanasi itu sendiri adalah korespondensi Tuhan dengan manusia. Menurut Sab’iyah, imam mendapat tetesan Ilahi (Devine Grace). Ucapan seorang imam sepenuhnya merupakan nas syara dan wajib dilaksanakan.
Sepeninggal Ismail, imam-imam selanjutnya merupakan imam tersembunya sampai berdiri Daulah Fatimah (tahun 909 M). Tersembunyinya imam tidak mengahalanginya untuk menjadi imam dan ia tetap harus dipatuhi. Sab’iyah berbeda dengan Syi’ah Dua Belas yang meyakini adanya imam Al-Mahdi Al-Muntadzar berkeyakinandibumi akan selalu ada imam. Hanya saja imam itu adakalanya tersembunyi (batin) dan ada kalanya menampakkan diri (zahir). Tatkala imam bersembunyi, para da’inya harus zahir (tampak). Sebaliknya apabila imamnya zahir, dainya tersembunyi. Sab’iyah meyakini bilangan tujuh dan mereka meyakini bahwa setiap nabi mempunyai tujuh pelaksana.


3.      Ajaran Syi’ah Sab’iyah Lainnya

Ajaran Sab’iyah lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte Syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir, dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntadzar. Bila dibandingkan dengan sekte Syi’ah lainnya, Sab’iyah sangat ekstrim dalam menjelaska kemaksuman imam. Sebagaimana telah dijelaskan, kelompok ini berpendapat bahwa imam, walaupun imam melakukan kesalahan dan menyimpang dari syari’at, ia tidaklah menyimpang karena memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki manusia biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin Sab’iyah tentang pengetahuan imam akan ilmu batin.
Ada satu sektedalam Sab’iyah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh karena itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti Fatimiyah, Al-hakim bin Amrillah, berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat Tuhan sehingga ia memaksa rakyat untuk menyembahnya.
Menurut Sab’iyah, Al-Qur’an memiliki makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari syari’at itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu, mungkin saja terjadi perubahan dan peralihan dan bahkan penolakan terhadap pelaksanaan syari’at tersebut karena mendasarkan pada yang batin tadi. Yang dimaksud dengan orang-orang tertentu ialah para imam yang memiliki zahir dan ilmu batin.
Dengan prinsip ta’wil, Sab’iyah menakwilkan, misalnya, ayat Al-Qur’an tentangpuasa dengan menahan diri dari menyiarkan rahasia-rahasia imam, dan ayat Al-Qur’an tentang haji ditakwilkan dengan mengunjungi imam/ bahkan, di antara mereka ada yang menggugurkan kewajiban ibadah. Mereka itu adalah orang-orang yang telah mengenal imam dan telah mengetahui ta’wil (melalui imam)
Mengenai sifat Allah, sebagaimana halnya Mu’tazilah Sab’iyah meniadakan sifat dari dzat Allah. Menurut mereka penetapan sifatmerupakan penyerupaan dengan makhluk.





2.4  Syi’ah Zaidiyah

1.      Asal Usul Penamaan Zaidiyah

Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima, putra imam imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah Merupakan sekte Syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.


2.      Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah

Imamah, sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi SAW. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi SAW. telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas menjabat sebagai imam setelah Nabi wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim, wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya menurut Zaidiyah, seorang imam paling tidak harus memiliki cirri-ciri sebagai berikut. Pertama, ia merupakan keturunan ahl al-bait, baik melalui garis Hasan maupun Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas kepemimpinan. Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte Syi’ah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka, pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah Mahdi. Ketiga, memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan mengembangkan doktrin imamat al-mafdul. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang afdal.
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiyah sering mengaami krisis dalam keimanan. Hal ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahl al-bait untuk menobatkan dirinya sebagai imam. Ini berbeda msalnya dengan Syi’ah Itsna Asyariyah yang hanya mengakui keturunan Husein sebagai imam. Dalam sejarahnya, krisis keimanan dalam Syi’ah Zaidiyah ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat beberapa pemimpin yang memproklamirkan diri sebagai imam. Kedua, tidak seorangpun yang memproklamirkan diri atau pantas diangkat sebagi imam. Dalam menghadapi krisis ini, Zaidiyah mengembangkan mekanisme pemecahannya, di antaranya dengan membagi tugas imam kepada dua individu, dalam bidang politik dan dalam bidang ilmu serta keagamaan.
Syi’ah Zaidiyah memang mencita-citakan keimanan aktif, bukan keimanan pasif, seperti Mahdi yang gaib. Menurut mereka, imam bukan saja memiliki kekuatan rohani yang diperlukan bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia melakukan perlawanan demi cita-cita suci sehingga dihormati oleh umatnya. Selain menolak berbagai dongeng tentang kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian para imam. Imam bagi mereka adalah pemimpin dan guru bagi kaum muslim, aktif di tengah kehidupan, dan berjuang terang-terangan demi cita-citanya. Dengan demikian imam dapat berfungsi sebagai pemimpim politik dan keagamaan yang secara kongkret berjuang demi umat, daripada sebagai tokoh adikodrati yang suci tanpa dosa.


3.      Doktrin-doktirn Syi’ah Zaidiyah Lainnya

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khatab adalah sah dari sudut pandang islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall wa al-‘aqd telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah dibuat oleh mereka, keimanan menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya. Selain itu, mereka juga tidak mengafirkan seorangpun sahabat. Mengenai hal ini, Zaid sebagaimana dikutip Abu Zahrah mengatakan :
Sesungguhnya Ali bin Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaitu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru saja berlalu. Pedang Amir Al-Mukminin Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku tertentu untuk menuntut balas dendam belumlah surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas untuk cenderung ke situ. Jangan lagi ada leher terptus karena masalah itu. Inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk islam, serta yang dekat dengan Rasulullah”
Prinsip inilah, menurut Abu Zahrah, yang menebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah. Salah satu implikasinya adalah dukungan terhadap Zaid ketika Ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abu Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan menuduh mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah , mempunyai hubungan dengan Za’id. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Baik Abu Zahrah maupun Moojan Momen mengatakan bahwa dalam teologi Syi’ah Zaidiyah hampir sepenuhnya mengikuti Mu’tazilah. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti Murji’ah, dan berpendirian puritan dalam menyikapi tarekat. Organisasi tarekat memang dilarang dalam pemerintahan Zaidiyah.
Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah (temporer). Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar bin Khatab. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah satujenis pernikahan yang di hapuskan pada masa Nabi SAW. Pada perkembangannya, jenis pernikahan ini di hapuskan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh sekte Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh karena itu hingga sekarang kecuali kalangan Zaidiyah, kaum Syi’ah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. Selanjutnya, kaum Zaidiyah juga menolak doktrin taqiyah. Padahal menurut Thabathaba’i, taqiyah merupakan salah satu doktrin yang penting dalam Syi’ah.
Meskipun demikian, dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka memberi selingan ungkapan hayya ‘ala khairul amal, takbir sebanyak lima kali dalam sholat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-Khuffaini), menolak imam sholat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan muslim.
 
2.5  Syi’ah Ghulat


1.      Asal-usul Penamaan Syi’ah Ghulat

Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw, artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim (exaggeration). Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrim (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Muhammad.
Gelar ekstrim (ghuliw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus di anggap Tuhan dan juga ada beberapa orang yang di anggap Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu, mereka mengembangkan doktrin-doktrin ekstrim lainnya, seperti tanasukh, hulul, tasbih, dan ibaha.
Mengenai jumlah sekte Syi’ah Ghulat, para mutakallimin berbeda pendapat. Syahrastani membagi sekte Ghulat menjadi 11 sekte, Al-Ghurabi membaginya menjadi 15 sekte. Sekte-sekte yang terkenal antara lain : Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah, dan Nasyisiyah wa Ishaqiyah.
Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini pada awalnya hanya satu, yakni faham yang dibawa oeh Abdullah bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah Ghulat terpecah menjadi beberapa sekte. Meskipun demikian, seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengarui oleh system agama Babilonia Kuno yang ada di Irak, seperti Zoroaster, Yahudi, Manikam, Mazdakisme.


2.      Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat

Menurut Syahrastani, ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrim, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan Ghayba. Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamiyahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya. Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’, dalam pandangan Syi’ah Ghulat, mempunyai beberapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak, artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hokum yang diterapkan-Nya. Bila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Al-Mukhtar ketika mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyuyang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkannya, maka itu dijustifikasi sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun, jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah, Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh Syi’ah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali, sedangkan sebagian lainnya menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berbeda pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba (occulation) artinya menghilangnya Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Ajaran dalam Syi’ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak  bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib  sangat utama di antara para Sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.





DAFTAR PUSTAKA
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq    Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
Maqalatul Islamiyyin, 1/137
Bahan ajar ilmu kalam hal:31
Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
Bahan ajar ilmu kalam hal:25
Baca al-Ghadir, al-Muroja’ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
Ibid 27-28
Bahan ajar ilmu kalam hal:32-34
Bahan ajar ilmu kalam hal:24
Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
Sayyid Muhibudin al-khotib,mengenal pokok-pokok ajaran syi’ah al-imamiyah,1984 surabaya PT.bina ilmu,hal 25
Bahan ajar ilmu kalam hal:21
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq    Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
http://putralibra21.blogspot.com/2015/02/makalah-ilmu-kalam-aliran-syiah.html